Hadits Arbain ke-5 “Perbuatan Bid’ah Tertolak”


19MAR
HADITS KE-LIMA ARBA’IN AN NAWAWI
PERBUATAN BID’AH TERTOLAK
عَنْ أُمِّ الْمُؤْمِنِيْنَ أُمِّ عَبْدِ اللهِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم : مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ  رَدٌّ.   [رواه البخاري ومسلم وفي رواية لمسلم : مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ]
Dari Ummul mukminin, Ummu ‘Abdillah, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda:“Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang bukan dari kami, maka dia tertolak”.
(Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat Muslim : “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak”) [Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718]
Kata “Raddun” maksudnya tertolak atau tidak sah. Kalimat “bukan dari urusan kami” maksudnya bukan dari hukum kami.
Hadits ini merupakan salah satu pedoman penting dalam agama Islam yang merupakan kalimat pendek yang penuh arti yang dikaruniakan kepada Rasulullah. Hadits ini dengan tegas menolak setiap perkara bid’ah dan setiap perkara (dalam urusan agama) yang direkayasa. Sebagian ahli ushul fiqih menjadikan hadits ini sebagai dasar kaidah bahwa setiap yang terlarang dinyatakan sebagai hal yang merusak.
Pada riwayat imam muslim diatas disebutkan, “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak” dengan jelas menyatakan keharusan meninggalkan setiap perkara bid’ah, baik ia ciptakan sendiri atau hanya mengikuti orang sebelumnya. Sebagian orang yang ingkar (ahli bid’ah) menjadikan hadits ini sebagai alas an bila ia melakukan suatu perbuatan bid’ah, dia mengatakan : “Bukan saya yang menciptakannya” maka pendapat tersebut terbantah oleh hadits diatas.
Hadits ini patut dihafal, disebarluaskan, dan digunakan sebagai bantahan terhadap kaum yang ingkar karena isinya mencakup semua hal. Adapun hal-hal yang tidak merupakan pokok agama sehingga tidak diatur dalam sunnah, maka tidak tercakup dalam larangan ini, seperti menulis Al-Qur’an dalam Mushaf dan pembukuan pendapat para ahli fiqih yang bertaraf mujtahid yang menerangkan permasalahan-permasalahan furu’ dari pokoknya, yaitu sabda Rosululloh . Demikian juga mengarang kitab-kitab nahwu, ilmu hitung, faraid dan sebagainya yang semuanya bersandar kepada sabda Rasulullah dan perintahnya. Kesemua usaha ini tidak termasuk dalam ancaman hadits diatas.Wallahu a’lam
Kedudukan hadits
Hadits ini sangat agung kedudukannya karena merupakan dasar penolakan terhadap seluruh bentuk bidáh yang menyelisihi syariát, baik bidáh dalam aqidah, ibadah, maupun muámalah.
Bidáh
Bidáh memiliki 2 tinjauan secara lughah dan secara syarí. Bidáh secara lughah berarti segala sesuatu yang tidak ada contoh atau tidak ada yang mendahuluinya pada masanya. Adapun bidáh secara syarí adalah seperti yang didefinisikan oleh para ulama, yaitu yang memenuhi 3 kriteria sebagai berikut:
1. Dilakukan secara terus menerus/rutin.
2. Baru, dalam arti tidak ada contohnya.
3. Menyerupai syariát baik dari sisi sifatnya atau atsarnya. Dari sisi sifat maksudnya seperti sifat-sifat syariát yaitu sudah tertentu waktu, tempat, jenis, jumlah, dan tata caranya. Dari sisi atsarnya maksudnya diniati untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari pahala. Bidáh termasuk jenis Dosa Besar, karena merupakan amal kemaksiatan namun mengharapkan pahala.
Mashalihul Mursalah
Kalau seseorang tidak benar-benar memahami hakikat bidáh maka dia bisa rancu dengan sesuatu yang disebut Mashalihul Mursalah. Sepintas, antara bidáh dan Mashalihul Mursalah ada kemiripan, namun hakikatnya berbeda. Adapun perbedaannya adalah sebagai berikut :
1. Mashalihul Mursalah terjadi pada perkara duniawi atau pada sarana (wasilah) demi penjagaan lima maqosid syariát yaitu agama, jiwa, harta, keturunan, dan akal. Sementara bidáh terjadi pada ibadah atau ghayah (tujuan).
2. Mashalihul Mursalah tidak ada tuntutan untuk dikerjakan pada masa Nabi shallallaahu álaihi wa sallam, adapun bidáh tuntutan untuk dikerjakannya sudah ada pada masa Nabi shallallaahu álaihi wa sallam.
Penjelasan Hadits
1- Hadits ini merupakan pokok yang mendasar dalam menimbang seluruh amalan yang zhahir. Dan amalan apapun tidak akan dianggap kecuali jika sesuai dengan syariat. Sebagaimana hadits “innamal a’maalu bin niyyat”, merupakan pokok yang mendasar dalam menimbang seluruh amalan batin. Dan semua amalan apapun yang dijadikan taqarrub (ibadah) kepada Allah harus dilakukan dengan ikhlas hanya untuk Allah, dan harus benar dengan niatnya.
2- Jika wudhu, mandi janabat, shalat, dan ibadah-ibadah lainnya dilakukan dengan tidak sesuai syariat, maka ibadah-ibadah tersebut tertolak dan tidak dianggap. Dan segala sesuatu yang diperoleh dengan akad yang rusak, wajib dikembalikan kepada pemiliknya dan tidak boleh dimiliki. Dan yang menunjukkan hal ini adalah kisah seorang pekerja sewaan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada ayahnya,
Adapun budak wanita dan kambing, maka itu dikembalikan kepadamu… Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (2695) dan Muslim (1697).
3- Hadits ini juga menunjukkan bahwa orang yang melakukan perbuatan bid’ah, yang sama sekali tidak ada asal usulnya dalam syariat ini, maka itu tertolak, sekaligus pelakunya terancam dengan ancaman (dari Allah dan Rasul-Nya). Sungguh Nabi telah bersabda, Barangsiapa mengada-ada sebuah amalan di dalamnya, atau memberi tempat tinggal kepada orang yang mengada-ada tersebut, maka atasnya laknat Allah, para malaikat, dan seluruh manusia… [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1870), dan Muslim (1366)].
4- Riwayat kedua yang terdapat dalam Shahih Muslim lebih umum dari riwayat yang terdapat pada Ash-Shahihain (Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim). Karena riwayat dalam Shahih Muslim ini mencakup seluruh orang yang melakukan bid’ah. Sama saja orang tersebut yang pertama kali mengadakan bid’ah ataupun ia hanya mengikuti pendahulunya dalam melakukan bid’ah tersebut.
5- Makna sabdanya “raddun” dalam hadits ini artinya “marduudun ‘alaihi” (tertolak kepada si pelakunya).
6- Tidak masuk ke dalam hadits tersebut segala sesuatu yang justru membantu dan membuat kemaslahatan dalam menjaga agama Islam. Atau yang membantu dalam memahamkan dan mengetahui agama Islam. Seperti mengumpukan Al-Qur’an dalam mus-haf. Menulis ilmu-ilmu bahasa dan nahwu. Dan yang semisalnya.
7- Hadits ini, secara umum menunjukkan bahwa semua amalan yang menyelisihi syariat pasti tertolak. Walaupun maksud pelakunya baik. Dan dalil yang menunjukkan hal ini adalah kisah seorang sahabat yang menyembelih hewan kurbannya sebelum shalat ‘Idul Adh-ha.  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada sahabat ini,
Kambing sembelihanmu kambing sembelihan biasa saja (yakni; hanya sembelihanbiasa saja).
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (955) dan Muslim (1961)].
8- Hadits ini, secara lafazhnya menunjukkan bahwa setiap amalan yang tidak ada perintah syariat padanya maka tertolak. Dan secara pemahamannya, menunjukkan bahwa amalan yang padanya terdapat perintah syariat, maka tidak akan tertolak. Makna (ringkasnya);  setiap amalan yang berada dalam koridor hukum-hukum syariat Islam dan sesuati dengannya, maka ia diterima. Dan yang keluar darinya, maka tertolak.
Pelajaran yang terdapat dalam hadits
  1. Setiap perbuatan ibadah yang tidak bersandar pada dalil syar’i ditolak dari pelakunya.
  2. Larangan dari perbuatan bid’ah yang buruk syari’at.
  3. Islam adalah agama yang berdasarkan ittiba’ (mengikuti berdasarkan dalil) bukan ibtida’ (mengada-adakan sesuatu tanpa dalil) dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah berusaha menjaganya dari sikap yang berlebih-lebihan dan mengada-ada.
  4. Agama Islam adalah agama yang sempurna tidak ada kurangnya.
  5. Haramnya berbuat bid’ah dalam agama.
  6. Setiap amalan yang terbangun di atas bid’ah, maka ia tertolak atas pelakunya.
  7. Setiap larangan (untuk melakukan sesuatu) mengandung kerusakan (pada sesuatu tersebut).
  8. Sesungguhnya amalan yang shalih, jika dilakukan tidak sesuai dengan syariat, seperti melakukan shalat sunnah di waktu yang terlarang dan tanpa ada sebabnya, dan berpuasa pada hari ‘Id, dan yang semisalnya, maka amalan ini batil dan tidak dianggap sama sekali.
  9. Penghukuman seorang hakim tidak dapat merubah perkara sesungguhnya, berdasarkan sabdanya “suatu amalan yang tidak berdasarkan perintah kami”.
Tema-tema hadits
1. Kesempurnaan Islam   : 5 : 3,
2. Bid’ah dan taklid         : 57 : 27, 17 : 36
Sumber:
Penjelasan 50 Hadits Inti Ajaran Islam Terjemah Kitab Fat-hul Qawiyyil Matin fi Syarhil Arba’in wa Tatimmatul Khamsin. Penulis: Syaikh ‘Abdul-Muhsin bin Hamd Al-’Abbad Al-Badr; Penerjemah: Ustadz Abu Abdillah Arief Budiman, Lc. Penerbit: Disebarkan dalam bentuk ebook oleh http://www.Yufid.com
Share this video :

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Subhan miss jtg - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger